Kamis, 03 November 2011

Kebangkitan Ekonomi Islam di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ekonomi Islam atau lebih dikenal dengan sebutan ekonomi syariah yang kini kian tumbuh dan berkembang begitu signifikan, tentunya keadaan ini membawa kabar gembira bagi umat Islam. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan ekonomi syariah melaju begitu cepat. Perkembangan ekonomi syariah tidak hanya terjadi di Indonesia akan tetapi hampir di sebagian besar negara di Asia, Afrika, Australia, dan Amerika. Bahkan bisa dibilang Indonesia telah jauh tertinggal jika dibandingkan negara-negara lain di Asia, Afrika, dan Eropa. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari peran serta masyarakatnya dalam berkontribusi dan berpartisipasi dalam mengembangkan ekonomi syariah. Di samping itu yang tidak bisa abaikan adalah peran serta pemerintah, terutama dalam menciptakan regulasi. Dengan demikian wajar bila perkembangan ekonomi syariah di negara-negara tersebut lebih agresif jika dibandingkan dengan Indonesia.
Melalui makalah ini, penulis akan menyampaikan tentang perkembangan ekonomi islam di Indonesia, serta tantangan yang dihadapi serta solusi yang bisa dilakukan agar ekonomi islam bisa terus berkembang.
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam untuk menambah nilai mata kuliah tersebut
2. Untuk memberi pengetahuan tentang perkembangan kebangkitan ekonomi islam di Indonesia saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Munculnya Ekonomi Islam
Perkembangan Ekonomi Islam (Islamic Economy) baik sebagai ilmu pengetahuan maupun sebagai sebuah sistem ekonomi telah mendapat banyak sambutan positif di tingkat global. Di indonesia perkembangan ekonomi syariah dapat dikatakan baru memulai masanya bila dibandingkan dengan perkembangan ekonomi konvensional yang sudah jauh berkembang. Namun di masa inilah justru ekonomi syariah akan menjadi pioneer yang akan membawa perekonomian rakyat jauh lebih baik. Karena jelas bahwa ekonomi syariah adalah ekonomi yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, juga tidak terlepas dari perkembangan ini. Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim.
Pembentukan BMI ini diikuti oleh pendirian bank-bank perkreditan rakyat Syariah (BPRS). Namun karena lembaga ini masih dirasakan kurang men¬cukupi dan belum sanggup menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah, maka dibangunlah lembaga-lembaga simpan pinjam yang di¬sebut Bait al Maal wat Tamwil (BMT).
Perkembangan Perbankan Syariah semakin pesat ketika tahun 1998 dibuat UU No. 10/1998 tentang Perubahan UU No. 7/1992 tentang Perbankan, maka secara tegas Sistem Perbankan Syariah ditempatkan sebagai bagian dari Sistem Perbankan Nasional. UU tersebut telah diikuti dengan ketentuan pelaksanaan dalam bebe¬rapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 12 Mei 1999, yaitu tentang Bank Umum, Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan BPR Berdasarkan Prinsip Syariah. Hal yang sangat penting dari peraturan baru itu adalah bahwa bank--bank umum dan bank-bank perkreditan rakyat konvensional dapat menjalankan transaksi perbankan syariah melalui pembukaan kantor¬-kantor cabang syariah, atau mengkonversikan kantor cabang konven¬sional menjadi kantor cabang syariah. Perangkat hukum itu diharapkan telah memberi dasar hukum yang lebih kokoh dan peluang yang lebih besar dalam pengembangan perbankan syariah di Indonesia.
Sebenarnya sebelum Bank Muamalat berdiri, di Jawa Barat sudah terlebih dahulu berdiri beberapa BPRS, antara lain BPRS Mardhatillah dan BPR Berkah Amal Sejahtera yang didirikan yang didirikan pada tahun 1991 di Bandung oleh para mantan aktivis HMI dan ulama Persis Bandung dan sebuah institusi syariah yaitu ISED (Institute for Sharia Economic Development). Namun karena belum didukung oleh SDM yang baik, maka BPRS ini tidak berkembang ketika itu. Pada saat yang bersamaan dengan BPRS tadi sejumlah BMT juga berdiri yang semangatnya adalah ingin menerapkan sistem ekonomi syariah, Misalnya BMT Bina Insan Kamil. Jauh sebelum Bank Muamalat berdiri di Mesjid Salman juga pernah didirikan “Bank” Teknosa dengan ruh dan nafas ekonomi syariah. Semua ini boleh dikatakan sebagai embrio menuju berdirinya bank berdasarkan prinsip-prinsip Islam.
Setelah dua tahun Bank Muamalat beroperasi, kemudian mensponsori pen¬dirian asuransi Islam pertama di Indonesia, yaitu Syarikat Takaful Indonesia, dan menjadi salah satu pemegang sahamnya. Selanjutnya pada 1997, Bank Muamalat mensponsori Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syariah yang kemudian diikuti dengan beroperasinya lembaga reksadana Syariah oleh PT Danareksa. Pada tahun yang sama, berdiri pula sebuah lembaga pembiayaan (multifinance) Syariah, yaitu BNI-Faisal Islamic Finance Company.
Bank Muamalat ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit serta menghasilkan laba. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 mengenai Perbankan.
Dalam rangka terus meningkatkan pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia maka DPR telah mensyahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867).
Bahkan Bank Indonesia sebagaimana amanah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, telah membuat Peraturan Bank Indonesia No. 10/32/PBI/2008 tanggal 20 Nopember tentang Komite Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 179; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomer 4927).
Tugas KPS (Komite Perbankan Syariah) adalah membantu Bank Indonesia dalam: 1) Menafsirkan fatwa MUI yang terkait dengan perbankan syariah, 2) Memberikan masukan dalam rangka implementasi fatwa ke dalam Peraturan Bank Indonesia, 3) Melakukan Pengembangan industri perbankan syariah.
Munculnya perbankan syariah di Indonesia merupakan suatu perwujudan dari permintaan masyarakat yang membutuhkan suatu sistem perbankan alternatif yang selain menyediakan jasa perbankan/keuangan yang sehat, juga memenuhi prinsip-prinsip syariah. Kemunculan bank syariah kemudian diikuti dengan kemunculan lembaga keuangan syariah lainnya, seperti asuransi syariah, pegadaian syariah, saham syariah maupun berbagai model keuangan lainnya.
Perkembangan yang pesat ini masih terus berlangsung hingga saat ini. Perkembangan ini tidak terlepas dari kebijakan office chanelling dan splitover yang memang digalakkan Bank Indonesia untuk mempercepat peningkatan peran perbankan syariah di Indonesia.
Sebagai bukti riil di masyarakat, perkembangan ekonomi syariah ditunjukan dengan munculnya lembaga-lembaga keuangan syariah baik itu Bank Syariah, Asuransi Syariah, BPR Syariah, BMT, Tabung Wakaf, dan lain sebagainya. Dan yang baru-baru ini adalah semakin banyaknya Bank umum/konvensional yang membuka divisi syariah atau yang sering disebut dengan Unit Usaha Syariah (UUS) yang dapat melayani transaksi berdasakan akad-akad syariah. Tentunya ini merupakan angin segar bagi pertumbuhan ekonomi syariah khususnya di industri keuangan. Melihat ekonomi syariah di Indonesia berkembang dengan pesat, terutama di sektor industri keuangan, ternyata fenomena ini diikuti di sektor/bidang pendidikan. Sudah dipastikan keadaan ini akan sangat mendukung dan membantu percepatan laju pertumbuhan ekonomi syariah. Saat ini hampir sebagian besar perguruan tinggi baik negeri maupun swasta telah membuka jurusan/studi ekonomi Islam dan kajian atau diskusi-diskusi mengenai ekonomi Islam, seperti UI, IPB,UIN, ITB, UGM, UNHAS, Universitas Trisakti, STIE Tazkia, STIE SEBI, dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi lainnya.
B. Potensi dan Tantangan di Indonesia
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat di bidang keuangan syariah ini tentu saja membuka peluang bagi Indonesia untuk juga ikut lebih aktif didalamnya. Pengalaman di masa krisis menunjukkan bahwa bank (dan lembaga keuangan) syariah terbukti mampu bertahan dari berbagai guncangan dan relatif tidak membutuhkan banyak bantuan pemerintah. Ini berarti bahwa upaya pengembangan lembaga keuangan syariah juga sekaligus akan membantu ketahanan perekonomian nasional. Untuk itu, harus didesain kebijakan pemerintah yang mendukung perkembangan dan pertumbuhan lembaga keuangan syariah, sekaligus memungkinkan lahirnya pemikiran-pemikiran dari para ahli ekonomi untuk menghasilrkan konsep atau teori ekonomi Islam yang betul-betul menguntungkan dan sejalan dengan hukum Islam.
Bagi masyarakat Indonesia, berbagai potensi yang ada seharusnya mampu mempermudah dan mempercepat perkembangan ekonomi syariah beserta perangkat yang diperlukan. Ini mengingat mayoritas penduduk beragama Islam dan kesadaran untuk memanfaatkan jasa perbankan berbasis syaraiah terus tumbuh. Karena itu, tidak berlebihan jika Indonesia seharusnya bisa menjadi basis dan penggerak perekonomian syariah dunia. Namun sayang sejauh ini, hal itu masih belum terwujud dan beberapa negara tetangga justru lebih agresif dibandingkan Indonesia.
Upaya strategis dalam hubungannya dengan pengembangan ekonomi Islam ini telah mulai dilakukan pemerintah, antara lain dengan penyusunan perangkat perundangan yang pada tahun 2008 ini telah disahkan yaitu UU No 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Nasional dan UU No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. UU No 19 dapat disebut sebagai upaya pemerintah meningkatkan porsi pembiayaan pembangunan nasional melalui skema pembiayaan syariah dari obligasi negara dan surat berharga lainnya yang memang memiliki peluang besar bagi Indonesia untuk memperolehnya dari investor Timur Tengah maupun ummat Islam Indonesia sendiri. Adapun UU No 21/2008 yang secara khusus membahas perbankan syariah merupakan upaya pemerintah dalam menguatkan kontribusi lembaga keuangan syariah dalam memperkokoh pembangunan nasional. Lahirnya kedua peraturan perundangan ini dengan sendirinya akan menambah ruang bagi pengembangan ekonomi Islam dengan perbankan syariah sebagai lokomotifnya, meskipun berbagai pengembangan masih tetap perlu dilakukan, terutama terkait dengan kebijakan pendukung.
Selain itu, harus juga diakui bahwa berbagai persoalan masih menjadi kendala perkembangan ekonomi Islam dan lembaga keuangan Islam di Indonesia. Permintaan akan jasa keuangan dan praktek ekonomi berbasis syariah berkembang lebih cepat dari perkembangan terkait pemikiran dan konsep mengenai ekonomi Islam. Ini berarti bahwa sumber daya insani yang memadai dalam tugas-tugas akademik dan intelektual untuk merumuskan berbagai pemikiran ekonomi Islam masih jauh dari mencukupi. Ditambah juga bahwa sumber daya insani yang secara praksis berkecimpung di lembaga keuangan syariah belum sepenuhnya memiliki kapasitas yang ideal. Kebanyakan baru merupakan sumber daya manusia pada lembaga keuangan konvensional yang kemudian sedikit dipoles dengan label syariah. Tak mengherankan jika kemudian berbagai kritik bermunculan terhadap praktek ekonomi syariah di Indonesia, yang dinilai tidak jauh berbeda dengan praktek serupa di lembaga keuangan konvensional.
Pola-pola hubungan berbasis syariah baru sebatas akad dan ikrar, belum substansinya. Dengan kata lain, transaksi yang terjadi baru sekedar pada tahapan menghilangkan unsur riba dengan mendesain transaksi yang sah akad dan ikrarnya, dan belum menyentuh persoalan mendasar pada masyarakat yang membutuhkan peran aktif lembaga keuangan syariah. Hal ini sangat mungkin terjadi karena pendekatan terhadap ekonomi syariah di Indonesia dilakukan oleh dua kutub keilmuan, yaitu ilmu ekonomi dan ilmu hukum Islam. Keduanya memang merupakan basis bagi ekonomi syariah, namun harus didekati dengan pendekatan yang integratif, sehingga tidak terkesan berjalan sendiri-sendiri. Tentang substansi yang mendasari sebagai nilai-nilai utama ekonomi syariah ini memang masih terus dirumuskan oleh para pakar dan teoritisi di bidang ekonomi syariah. Berbagai buku ekonomi Islam yang ada saat ini memang masih sangat terbatas untuk menjelaskan pola-pola bisnis syariah yang tidak hanya sesuai dengan prinsip syariah, tetapi juga mampu memberikan kesejahteraan masyarakat luas.
Dalam kaitannya dengan peran ekonomi syariah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memang belum menjadi agenda pengembangan yang integratif. Dalam Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia yang disusun BI misalnya, inisitaif dan target-target yang dicanangkan belum secara eksplisit menunjuk pada upaya penyejahteraan rakyat. Meskipun dalam dalam visinya, pengembangan perbankan syariah dimaksudkan untuk “Terwujudnya sistem perbankan syariah yang kompetitif, efisien, dan memenuhi prinsip kehati-hatian serta mampu mendukung sektor riil secara nyata melalui kegiatan pembiayaan berbasis bagi hasil dan transaksi riil dalam kerangka keadilan, tolong menolong dan menuju kebaikan guna mencapai kemaslahatan masyarakat” Poin-poin yang dituju dalam cetak biru tersebut antara lain kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah, Ketentuan kehati-hatian, Efisiensi operasi dan daya saing, dan Kestabilan sistem dan kemanfaatan bagi perekonomian.
Kontribusi ekonomi Islam dalam pengembangan kesejahteraan masyarakat sebenarnya merupakan bagian integral dari ajaran Islam yang seharusnya juga menjadi ruh pengembangan ekonomi Islam beserta lembaga keuangan dibawahnya. Konsep kerjasama dalam kebaikan dan takwa (ta’awun fil birri wa taqwa), merupakan bagian dari prinsip Islam yang dijunjung tinggi. Namun dalam prakteknya, harus kita akui bahwa praktek keuangan syariah, semisal bank masih jauh dari konsep ini. Sampai saat ini, pembiayaan murabahah (jual-beli) masih mendominasi komposisi pembiayaan bank syariah. Ini berarti bahwa bank syariah masih belum berani bermain pada pembiayaan untuk investasi riil yang memang membutuhkan lebih banyak energi dibandingkan pembiayaan jual-beli.
Berdasarkan sektor ekonomi, kontribusi perbankan syariah juga belum mencerminkan upaya pengembangan kesejahteraan masyarakat. Sektor-sektor primer yang menguasai hajat lebih banyak anggota masyarakat belum sepenuhnya menjadi concern perbankan syariah dalam menyalurkan kreditnya. Perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya memang bisa berkelit bahwa pada tahap awal, pragmatisme bisnis masih diperlukan untuk menjaga eksistensi usaha. Namun demikian dalam jangka panjang, strategi dan pendekatan yang lebih membela kepentingan rakyat sudah saatnya menjadi fokus pelaku usaha bidang perbankan syariah.
Kontribusi lain dari ekonomi Islam untuk kesejahteraan masyarakat sebenarnya dapat juga dilakukan melalui alokasi berbagai proyek untuk kepentingan rakyat banyak yang didanai melalui skema pembiayaan syariah. Perkembangan sukuk di tingkat internasional misalnya bisa dijadikan contoh. Tingginya likuiditas pada negara-negara kaya minyak di Timur Tengah sebenarnya bisa diserap menjadi dana potensial untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang berorientasi pada rakyat banyak, semisal pembangunan jalan, sarana irigasi, dan lain-lain. Potensi ini sudah diakomodasi melalui penerbitan UU No 19/2008 dan sudah saatnya memberikan hasil yang positif. Untuk itu, peran pemerintah menjadi lebih dituntut untuk membangun iklim usaha yang baik sehingga berbagai peluang yang telah ada dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan nasional.
Pemerintah sudah saatnya tidak hanya berkonsentrasi pada pengembangan lembaga keuangan syariah sebagai lokomotif pengembangan ekonomi Islam semata, tetapi sudah saatnya merambah pada upaya strategis menguatkan peran ekonomi Islam dalam perekonomian nasional melalui strategi jangka panjang yang mencakup lebih banyak aspek kehidupan. Islam sebagai nilai universal tentu saja tidak hanya dipraktekkan dalam kaitannya dengan masalah transaksi, tetapi juga dalam masalah manajemen, tata pamong (governance), pendidikan dan bahkan budaya bangsa.
Di sinilah kemudian peranan sivitas akademik dalam membantu pemerintah menyiapkan blue print pengembangan ekonomi Islam yang lebih luas menjadi penting. Dengan penguatan dan pemanfaatan nilai-nilai Islam yang tercakup dalam ekonomi Islam pada berbagai aspek kehidupan, maka potensi ekonomi Islam dalam mendukung ekonomi nasional akan makin terbuka. Sivitas akademik di perguruan tinggi sudah saatnya tidak hanya berkutat pada masalah akad dan transaksi yang menjadi core dari aktivitas mu’amalah, tetapi juga melihat secara lebih makro kepada aspek-aspek kemanfaatan (mashlahat) yang terkandung dalam setiap transaksi untuk kemudian menterjemahkannya dalam kerangka keilmuan yang dapat dimanfaatkan oleh banyak pihak, termasuk pemerintah.
C. Sinergi untuk Kebangkitan Ekonomi Islam di Indonesia
Dalam Islam,ukhuwah atau persaudaraan merupakan salah satu ajaran yang paling penting untuk diwujudkan dalam masyarakat Islam. Al-quran dan hadits cukup banyak memberikan tekanan agar kaum muslimin membangun ukhuwah dalam membangun kekuatan. Dalam surah Alhujurat, Allah berfirman, ”Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara, maka damaikanlah di antara kamu, (jika terjadi konflik). Karena itu janganlah satu golongan (kelompok) mengolok-olok (menghina atau menjelekkan) kaum yang lain” (QS.Al-Hujurat : 10-11)
Ayat diatas memiliki makna umum bagi komunitas kaum muslimin, baik komunitas teologi, fiqh, politik, sosial, dsb. Makna itu juga sangat tepat ditujukan kepada ummat Islam yang bergelut dalam bisnis syari’ah, baik perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, (obligasi syari’ah dan reksadana syari’ah), Multi Level Marketing Syari’ah, BMT, BAZ, LAZ, dsb.
Karena itu praktisi ekonomi syariah tidak dibenarkan saling menjelekkan lembaga bisnis yang lain, apalagi terjadi hubungan persaingan yang tidak sehat dan tidak harmonis, sehingga mereka berjalan sendiri-sendiri. Hal ini akan melemahkan gerakan ekonomi syariah itu sendiri.
Pertumbuhan lembaga-lembaga bisnis syari’ah yang cukup marak di Indonesia akhir-akhir ini, bagaimanapun akan menimbulkan persaingan bisnis di antara sesama lembaga keuangan syari’ah. Persaingan itu hendaknya tidak membawa kepada keretakan umat. Lembaga-lembaga ekonomi umat hendaknya tidak berjalan secara parsial dan merasa bisa berkembang tanpa bantuan dan sinergi dengan lembaga-lembaga lainnya
Sehubungan dengan itu sesama lembaga keuangan Islam harus membangun sinergi yang solid dan kokoh. Kalaupun terjadi persaingan, bangunlah persaingan yang sehat yang tidak melanggar syari’ah. Jangan sistem operasi dan produk saja syari’ah, sementara sikap pelakunya tidak syari’ah. Di dalam Islam persatuan atau sinergi suatu hal yang mutlak. Nabi mengatakan, ”Bersatu itu menimbulkan rahmat dan kekuatan, sedangkan perpecahan itu menimbulkan azab”
Dalam menghadapi globalisasi tantangan yang dihadapi oleh praktisi ekonomi syari’ah semakin kompleks, baik tantangan internal maupun eksternal. Untuk itu, lembaga-lembaga ekonomi syari’ah harus menyusun kekuatan dan bersinergi dalam mengembangkan bisnis syari’ah dengan langkah-langkah yang terencana, sistimatis dan terorganisir,baik dalam menyelenggarakan kegiatan, promosi, expo, membuat media bersama, dsb. Di sinilah peran strategis ISE (Indonesia Syariah Expo) yang dilaksanakan saat ini, yakni mensinergikan kekuatan secara bersama untuk sebuah perhelatan akbar dalam rangka mempromosikan ekonomi syariah.
Untuk itulah kehadiran wadah MES diperlukan sebagai pemersatu gerakan ekonomi syariah di Indonesia. MES juga harus dapat menyatukan berbagai Assosiasi ekonomi syariah, seperti IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia), Assosiasi Perbankan Syariah, Assosiasi Asuransi Syariah, Forum Komunikasi Ekonomi Syari’ah, Assosiasi Akuntan Syariah, sampai kepada Assosiasi Wartawan Ekonomi Syariah yanag telah terbentuk. Seluruh komponen di atas harus bersinergi untuk membangun ekonomi syari’ah dan membumikannnya di Indonesia, sehingga ekonomi syariah menjadi dominan di bumi Indonesia.
Lembaga-lembaga ekonomi Islam ini, merupakan embrio kekuatan ekonomi baru di negeri ini, ia telah terbukti di zamannya mampu bertahan dan semakin maju menjadi sistem yang bisa menyejahterakan umatnya. Di masa krisis, bank syariah mampu lolos dari kebangkrutan, sekalipun tidak mendapat bantuan dana BLBI. Ekonomi syariah dengan nilai-nilai kebenaran ini haruslah menjadi kekuatan baru dalam membangkitkan kembali perekonomian Indonesia. Tetapi harus dicatat, meskipun secara sistem, lembaga ekonomi syariah memiliki keunggulan, namun keunggulan itu tak berarti apa-apa jika sesama lembaga ekonomi dan keuangan tidak bersinergi dalam menggerakkan perekonomkian Indonesia. Lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan laksana bangunan yang tersusun rapi, Alquran menyebutkan dengan istilah ka annahum bunyanun marshush (seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh).
Sinergi bukan saja antara sesama bank syariah, tetapi juga dengan lembaga- lembaga keuangan lainnya, seperti asuransi syariah, pasar modal syariah, pegadaian syariah, Baitul Mal wat Tamwil bahkan dengan lembaga Perguruan Tinggi yang mengembangkan kajian ekonomi Islam..
Institusi bank syariah dan asuransi syariah misalnya, dapat melakukan sinergi yang saling menguntungkan dan mengokohkan satu sama lain. Bank membutuhkan asuransi sebagai back up risiko, baik risiko kemacetan kredit, risiko kematian nasabah, jaminan kerugian dari hasil pinjaman ke bank seperti kendaraan, properti, maupun jaminan atas aset-aset bank itu sendiri. Sebaliknya asuransi membutuhkan bank sebagai instrumen transaksi nasabah, sebagai tempat deposito, dan investasi yang paling aman sekalipun sangat konservatif. Sekarang berkembang satu bentuk sinergi yang baru antara asuransi dan bank yang-disebut-dengan-bancassurance
Selain itu sinergi dapat dibangun dengan lembaga syariah lainnya seperti obligasi syariah, pasar modal syariah, pegadaian syariah, Badan Amil Zakat, Lembaga Amil Zakat, leasing syariah, BPRS, BMT, sektor riil syariah seperti MLM Syariah Ahadnet dan lembaga syariah lainnya. Sinergi Ahadnet dengan Bank Syari’ah misalnya dapat dibangun dalam bentuk penggunaan produk, tabungan dan pembiayaan. Artinya, praktisi bank syari’ah memakai produk-produk Ahadnet, atau membiayai pabrik Ahadnet. Demikian pula sebaliknya, anggota ahadnet menabung dan meminjam di bank-bank syari’ah, sehingga aliran dana ummat tetap berputar di kalangan ummat sendiri.
Praktisi Lembaga ekonomi Syariah harus mampu meninggalkan paradigma lama, paradigma konvensional, dan menyatukanshof (barisan) dalam paradigma baru membangun ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip syariah, yang real dalam implementasi dan bukan hanya pada tataran simbol-simbol dan MoU semata.
Kita akan kembali terombang ambing dan terbawa arus, dan skenario sistem kapitalis, sistem yang tidak syariah, jika tidak dilandasi komitmen yang kuat, dan kesiapan menghadapi risiko perjuangan. Janganlah kita menjadi umat yang pernah disinyalir oleh Rasulullah, mereka itu “bagaikan buih di atas lautan yang ombaknya besar, terombang- ambing mengikuti ke mana ombak menghempas dan ke mana arus mengalir”. Ketika seorang sahabat bertanya mengapa demikian ya Rasulullah, beliau menjawab karena kalian hubbuddunya wakarohiyatul maut (terlampau cinta pada kesenangan dunia dan takut mati).
Membangun sinergi sesama lembaga ekonomi syari’ah harus dimulai dengan menyatukan visi, misi dan hati para praktisi ekonomi syari’ah. Menyatukan visi dan missi antar lembaga keuangan syariah sebenarnya tidak begitu sulit, karena lembaga tersebut didirikan bukan semata-mata atas pertimbangan market, tetapi pertimbangan syar’i, yaitu ingin mengembangkan sistem ekonomi syariah dan mengamalkan Islam secara kaffah yang membawa rahmat bagi semesta alam.
Tetapi yang mungkin menjadi tantangan ke depan, adalah menyatukan hati para pelaku bisnis syariah, dan merapatkan langkah seiring dan seirama. Forum silaturrahmi dalam bentuk diskusi, seminar, lokakarya, antar praktisi ekonomi syariah, pakar ekonomi, dan ulama, merupakan hal yang sangat diperlukan untuk saling merekat satu sama lain. Terbentuknya Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, merupakan wadah silaturrahmi yang sangat strategis untuk membangun sinergi. Demikian pula Dewan Syari’ah Nasional -MUI, MES, Asbisindo, dan Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah, merupakan sarana komunikasi dan silaturahmi yang sangat diperlukan.
Selama ini, gerakan ekonomi syariah yang dijalankan di Indonesia masih terpencar-pencar belum menyatu dalam satu gerak langkah yang sinergis. Untuk menyatukan langkah dan gerak tersebut dengan program yang terencana dan hasil yang terukur, maka harus disusun Arsitektur Ekonomi Syariah Indonesia (AESI).










BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkembangan Ekonomi Islam (Islamic Economy) baik sebagai ilmu pengetahuan maupun sebagai sebuah sistem ekonomi telah mendapat banyak sambutan positif di tingkat global. Di indonesia perkembangan ekonomi syariah dapat dikatakan baru memulai masanya bila dibandingkan dengan perkembangan ekonomi konvensional yang sudah jauh berkembang. Namun di masa inilah justru ekonomi syariah akan menjadi pioneer yang akan membawa perekonomian rakyat jauh lebih baik. Karena jelas bahwa ekonomi syariah adalah ekonomi yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW.
Perkembangan sistem keuangan syariah sebenarnya telah dimulai sebelum pemerintah secara formal meletakkan dasar-dasar hukum operasionalnya. Dengan demikian, legalisasi kegiatan perbankan syariah melalui UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dalam UU No. 10 Tahun 1998 serta UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia merupakan jawaban atas permintaan yang nyata dari masyarakat. Dalam periode 1992 sampai dengan 1998, terdapat hanya satu bank umum syariah dan 78 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) yang telah beroperasi. Setelah dikeluarkannya ketentuan perundang-undangan tersebut, sistem perbankan syariah sejak tahun 1998 menunjukkan perkembangan yang cukup pesat, yaitu sekitar 74 persen pertumbuhan aset per tahun (Bank Indonesia, 2002).
Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia antara lain ditandai dengan munculnya Bank Muamalat Indonesia, sebagai bank yang beroperasi dengan sistem syariah pertama di Indonesia pada 1992. Munculnya perbankan syariah di Indonesia merupakan suatu perwujudan dari permintaan masyarakat yang membutuhkan suatu sistem perbankan alternatif yang selain menyediakan jasa perbankan/keuangan yang sehat, juga memenuhi prinsip-prinsip syariah. Kemunculan bank syariah kemudian diikuti dengan kemunculan lembaga keuangan syariah lainnya, seperti asuransi syariah, pegadaian syariah, saham syariah maupun berbagai model keuangan lainnya.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat di bidang keuangan syariah ini tentu saja membuka peluang bagi Indonesia untuk juga ikut lebih aktif didalamnya. Pengalaman di masa krisis menunjukkan bahwa bank (dan lembaga keuangan) syariah terbukti mampu bertahan dari berbagai guncangan dan relatif tidak membutuhkan banyak bantuan pemerintah. Ini berarti bahwa upaya pengembangan lembaga keuangan syariah juga sekaligus akan membantu ketahanan perekonomian nasional. Untuk itu, harus didesain kebijakan pemerintah yang mendukung perkembangan dan pertumbuhan lembaga keuangan syariah, sekaligus memungkinkan lahirnya pemikiran-pemikiran dari para ahli ekonomi untuk menghasilrkan konsep atau teori ekonomi Islam yang betul-betul menguntungkan dan sejalan dengan hukum Islam.
Sivitas akademik di perguruan tinggi sudah saatnya tidak hanya berkutat pada masalah akad dan transaksi yang menjadi core dari aktivitas mu’amalah, tetapi juga melihat secara lebih makro kepada aspek-aspek kemanfaatan (mashlahat) yang terkandung dalam setiap transaksi untuk kemudian menterjemahkannya dalam kerangka keilmuan yang dapat dimanfaatkan oleh banyak pihak, termasuk pemerintah.
Lembaga keuangan Islam harus membangun sinergi yang solid dan kokoh. Kalaupun terjadi persaingan, bangunlah persaingan yang sehat yang tidak melanggar syari’ah. Jangan sistem operasi dan produk saja syari’ah, sementara sikap pelakunya tidak syari’ah. Di dalam Islam persatuan atau sinergi suatu hal yang mutlak.
Sinergi bukan saja antara sesama bank syariah, tetapi juga dengan lembaga- lembaga keuangan lainnya, seperti asuransi syariah, pasar modal syariah, pegadaian syariah, Baitul Mal wat Tamwil bahkan dengan lembaga Perguruan Tinggi yang mengembangkan kajian ekonomi Islam. Selama ini, gerakan ekonomi syariah yang dijalankan di Indonesia masih terpencar-pencar belum menyatu dalam satu gerak langkah yang sinergis. Untuk menyatukan langkah dan gerak tersebut dengan program yang terencana dan hasil yang terukur, maka harus disusun Arsitektur Ekonomi Syariah Indonesia (AESI).
B. Saran
1. Pemerintah sudah saatnya merambah pada upaya strategis menguatkan peran ekonomi Islam dalam perekonomian nasional melalui strategi jangka panjang yang mencakup lebih banyak aspek kehidupan.
2. Para sivitas akademik dalam membantu pemerintah menyiapkan blue print pengembangan ekonomi Islam yang lebih luas menjadi penting. Sivitas akademik di perguruan tinggi sudah saatnya tidak hanya berkutat pada masalah akad dan transaksi yang menjadi core dari aktivitas mu’amalah, tetapi juga melihat secara lebih makro.
3. Para praktisi ekonomi syari’ah harus menyatukan visi, misi dan hati untuk membangun sinergi sesama lembaga ekonomi syari’ah.
4. Praktisi Lembaga ekonomi Syariah harus mampu meninggalkan paradigma lama, paradigma konvensional, dan menyatukanshof (barisan) dalam paradigma baru membangun ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip syariah, yang real dalam implementasi dan bukan hanya pada tataran simbol-simbol dan MoU semata.
5. Masyarakat seharusnya sudah mulai berpindah ke bank/lembaga keuangan syariah.

DAFTAR PUSTAKA
Agustianto. 2008.Tonggak Kebangkitan Ekonomi Syariah. http://shariaeconomics.wordpress.com/2011/02/27/tonggak-kebangkitan-ekonomi-syari%E2%80%99ah/. (Diakses 15 Juli 2011).
_________. 2008. Membangun Sinergi untuk Kebangkitan Ekonomi Indonesia. http://www.scribd.com/doc/4685552/membangun-sinergi-untuk-kebangkitan-ekonomi-indonesia-agustianto. (Diakses 15 Juli 2011).
2008. Ekonomi Islam di Indonesia: Kontribusi dan Kebijakan Pemerintah bagi Pengembangannya. http://pa-balikpapan.net/index.php?option=com_content&view=article&id=235:ekonomi-islam-di-indonesia--kontribusi-dan-kebijakan-pemerintah-bagi-pengembangannya-oleh--profdr-h-edy-suandi-hamid-mec-&catid=61:artikel-umum&Itemid=176. (Diakses 15 Juli 2011).
2009. Perkembangan Ekonomi Islam di Indonesia. http://id.netlog.com/adesoeryawiraone/blog/blogid=11446. (Diakses 15 Juli 2011).
2011. Sejarah dan Tantangan Kebangkitan Ekonomi Syariah di Indonesia. http://www.ahadnet.com/?mod=artikel&id=216. (Diakses 15 Juli 2011).

4 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Kita menghendaki kebangkitan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya. Kebangkitan yang dibenci oleh orang-orang kafir, fasik, munafik, dan para thaghut. Kebangkitan yang membuang representasi kekufuran, kezaliman, kefasikan dan kejahatan untuk menjadikan kita sebagai sebaik-baik umat manusia, kokoh dengan pertolongan Allah dan mendapat penguatan dan bantuan-Nya.

    BalasHapus